Minggu, 03 Agustus 2008

Hidup Kembali ataukah Kebangkitan Kembali?

Skenario tentang kembali hidupnya Yesus dari kematian menampilkan banyak permasalahan. Beberapa di antaranya telah diperbincangkan pada bab terdahulu. Kini kita beralih pada unsur dan permasalahan lain.

Yang menjadi perhatian kami adalah kondisi "otak" Yesus, sebelum Penyaliban dan setelah beliau siuman kembali. Otaknya telah difungsikan kembali, setelah tidak berfungsi selama tiga hari tiga malam. Pertanyaannya adalah, apa yang sungguh-sungguh telah terjadi pada otak saat kematian? Pada satu poin, paling tidak, terdapat kesepakatan di antara para ahli medis Kristen dan non-Kristen: jika otak mati lebih dari beberapa menit, itu berarti mati dan hilang selamanya. Segera setelah suplai darah terhenti, otak mulai mengalami kerusakan.

Jika Yesus telah mati pada waktu Penyaliban, hal itu hanya dapat berarti bahwa jantung beliau berhenti berfungsi dan berhenti menyuplai darah ke otak beliau, dan otak beliau segera mati sesudah itu. Jadi, seluruh sistim penyanggah hidup beliau telah berhenti beroperasi, atau beliau tidak dapat dinyatakan mati pada waktu itu. Dengan demikian, kita dihadapkan pada permasalahan yang sangat membangkitkan minat, dalam kaitan memahami tentang hidup dan matinya Yesus Kristus.

Kematian Yesus Kristus, seperti yang telah dikemukakan, berarti kepergian terakhir tubuh ruhani beliau, atau apa yang kita sebut ruh, dari jaringan fisik tubuh manusia beliau. Jika demikian, hidupnya beliau kembali berarti kembalinya tubuh ruhani itu ke dalam tubuh fisik yang sama yang telah ia tinggalkan tiga hari sebelumnya.

Kembalinya ruh seperti itu akan menghidupkan kembali jam kehidupan fisik dan membuatnya mulai berdetak kembali. Untuk hal yang terjadi seperti itu, sel-sel otak yang telah mengalami kerusakan dan mati, tiba-tiba akan kembali hidup, dan proses kimiawi pembusukan yang cepat, akan berbalik seluruhnya. Hal ini mencakup sebuah persoalan besar dan akan tetap menjadi suatu tantangan bagi para ahli biokimia Kristen untuk memecahkannya.

Uraian berbaliknya seluruh proses kimiawi pembusukan/kematian dalam sistim saraf pusat, adalah di luar jangkauan yang paling jauh dari imajinasi ilmuwan. Jika hal ini benar-benar telah terjadi, tentu saja ini merupakan sebuah mukjizat, yang bertentangan dengan sains dan memperolok hukum-hukum yang telah dibuat oleh Tuhan sendiri, tetapi hal itu akan menjadi suatu mukjizat yang masih belum dapat memecahkan permasalahan.

Kehidupan kembali seperti itu tidak hanya berarti hidupnya kembali sel-sel pada sistim saraf pusat, tetapi benar-benar perpaduan mereka. Bahkan jika sel-sel yang sama direkonstruksi dan dihidupkan kembali persis seperti sebelumnya, mereka pada kenyataannya akan menjadi suatu set baru sel-sel yang tidak memiliki memori sebelumnya. Selsel itu harus dirancang kembali lengkap dengan seluruh data yang terkait dengan kehidupan Yesus, yang telah terhapus dari otak beliau setelah kematian otak tersebut.

Hidup, seperti yang kita ketahui, tediri dari sebuah kesadaran yang diisi dengan informasi yang disimpan oleh milyaran neuron dalam otak. Informasi tersebut kemudian terbagi dalam data informasi terkomputerisasi yang lebih rumit dan saling terkait, yang diterima melalui panca indera. Jika data itu terhapus, kehidupan juga akan terhapus. Oleh karena itu, hidupnya kembali otak Yesus berarti pembangunan dan perakitan sebuah komputer otak baru dengan software/perangkat-lunak yang sama sekali baru. Hal yang kompleks/rumit ini juga berkait dengan [aspek] kimia seluruh bagian tubuh lainnya pada Yesus Kristus. Untuk menghidupkan kembali tubuh itu, proses rekonstruksi kimiawi yang maha besar harus dijalankan, setelah menyelamatkan kembali segenap materi yang telah hilang dalam proses pembusukan/kematian. Dengan terjadinya mukjizat yang begitu besar, pertanyaan akan timbul: siapa yang telah dihidupkan kembali, dan dengan dampak apa? Apakah manusia dalam diri Yesus, ataukah tuhan dalam beliau? Itulah sebabnya kami menegaskan tentang pentingnya memahami wujud diri Yesus.

Ketika Yesus diketahui telah bimbang dan gagal menunjukkan kedigdayaan beliau sebagai Anak Tuhan, orang-orang Kristen berlindung pada penda'waan bahwa beliau itu bimbang sebagai seorang manusia bukan sebagai tuhan. Jadi, kita memiliki hak penuh untuk mempertanyakan dan secara jelas merinci bagian mana yang merupakan manusia dalam diri beliau dan bagian mana yang merupakan tuhan. Kebimbangan wujud manusia dalam diri Yesus menuntut suatu otak/pemikiran manusia yang merupakan suatu jati diri terpisah dari tuhan dalam diri beliau. Ketika otak itu dihidupkan kembali, adalah unsur manusia dalam diri Yesus yang telah dihidupkan kembali, sebab zat "tuhan" dalam diri Yesus tidak membutuhkan sebuah otak lahiriah untuk menopangnya. Bagi zat "tuhan" itu, ia hanya berfungsi sebagai suatu wadah selama persinggahannya terdahulu di bumi, seperti suatu sarana ruhani. Oleh karena itu, hidupnya kembali Yesus hanya melibatkan hidupnya kembali wujud manusia dalam diri beliau, yang tanpa itu kembalinya ruh beliau kepada tubuh yang sama menjadi tidak mungkin.

Jika skenario ini tidak dapat diterima, maka kita akan menghadapi permasalahan berat lain, yaitu menisbahkan pada Yesus dua otak/pemikiran yang independen selama kehidupan beliau di bumi. Satu otak manusia, dan satu lagi otak tuhan. Kedua otak/pikiran ini bersama-sama mengisi satu tempat yang sama, tetapi saling tidak berhubungan dan berdiri sendiri. Jika demikian, masalah hidup kembali itu terpaksa harus dikaji ulang sampai fakta yang sebenarnya dipahami secara jelas. Dalam skenario ini, orang tidak harus dapat memahami intisari pembangunan kembali otak manusia sebagai wadah bagi pikiran manusia. Kita hanya perlu membayangkan bagaimana Yesus masuk kembali ke dalam batok kepala yang berisikan bangkai otak yang membusuk/mati milik tubuhnya terdahulu.

Semakin dalam kita menelaah permasalahan ini semakin banyak permasalahan yang muncul dalam kepala mereka pada setiap tahap pemeriksaan. Pikiran manusia membutuhkan sebuah otak sebagai sarana bagi proses pemikirannya. Sejauh yang berkaitan dengan fungsi-fungsi tubuh lahiriah, jika kita percaya otak/pikiran itu sebagai suatu sosok terpisah yang hidup sendiri maka ini secara tidak langsung menyatakan bahwa otak/pikiran dan ruh adalah satu hal yang sama. Dengan memberikan nama apa pun padanya, tidak peduli apakah kita menamakannya pikiran atau ruh, ia dapat dianggap mampu hidup secara terpisah walau hubungannya dengan otak manusia telah terputus. Namun, jika pikiran atau ruh itu diminta mengendalikan tubuh manusia atau menyerap pengaruh dari apa yang terjadi pada kenyataan-kenyataan fisik, maka tampaknya harus ada ikatan yang bagus antara pikiran dan otak, atau antara ruh dan otak. Jika tidak, mereka tidak dapat mempengaruhi, menggerakkan atau mengendalikan proses-proses fisik, mental dan perasaan dalam diri manusia. Mungkin hal ini tidak dapat diperdebatkan.

Dari sini, kita digiring kepada permasalahan serius lainnya: apakah oknum yang disebut Tuhan Anak itu perlu mengendalikan sebuah tubuh melalui sebuah otak? Dan apakah dia bertumpu pada sebuah otak lahiriah untuk proses-proses pikirannya? Jika dia melampaui segenap batasan manusia dan jika dia memiliki sistim yang mandiri bagi proses pikirannya, aneh baginya, tanpa sejajar dengan seluruh alam hasil ciptaannya, maka kembalinya ruh Tuhan ke dalam tubuh manusia beriringan dengan pikiran manusia, membentuk suatu gambaran aneh berupa dua kepribadian dengan proses pikiran yang bertentangan, sebab tidak mungkin bagi pikiran manusia dan ruh manusia untuk menyatu secara total dengan pikiran Tuhan dan Wujud-Nya.

Pasti ada perbedaan yang tetap antara kedua proses pemikiran, dibarengi benturan-benturan yang sangat mengganggu gelombang-gelombang otak. Kasus semacam ini tepatnya ditangani oleh seorang psikiater superhuman. Mungkin ini sebuah jenis baru schizofrenia (penyakit jiwa) ruhaniah .

Dengan mengatakan demikian, mari kita bangun kembali seluruh skenario dari sudut lain. Setelah mempelajari kekristenan pada kedalaman tertentu, saya sampai pada kesimpulan bahwa terdapat kerancuan umum dalam memahami beberapa istilah dari terapannya, tanpa memahami penuh dampak-dampaknya terhadap situasisituasi yang sebenarnya tidak tepat. Ideologi Kristen diselubungi oleh kabut tebal kerancuan dan kesalahan dalam menerapkan istilah. Revival (siuman) adalah istilah tersendiri, sedangkat resurrection (kebangkitan kembali) lain lagi, dan keduanya memiliki makna berbeda. Sejauh ini, kami sengaja menggunakan istilah revival (siuman) ketika membincangkan kemungkinan hidupnya Yesus kembali. Sebagaimana yang telah kita saksikan dari pembahasan sebelumnya, ‘hidup kembali' berarti kembalinya seluruh fungsi vital tubuh manusia sesudah ‘mati’. Namun, kebangkitan kembali' (resurrection) adalah suatu fenomena yang benar-benar berbeda.

Sayangnya, gereja Kristen, di seluruh dunia, bertanggungjawab atas penciptaan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran Kristen melalui penggunaan yang salah terhadap istilah-istilah tersebut, dan dengan cara menukarnya satu sama lain, atau paling tidak dengan cara menisbahkan makna yang satu terhadap lainnya. Kebanyakan orang Kristen memahami kebangkitan (resurrection) Yesus Kristus sebagai hidupnya sekali lagi tubuh manusia beliau yang telah beliau tinggalkan pada saat apa yang disebut sebagai kematian beliau. Tentu kami tidak sependapat dengan itu, dan tetap menggunakan hak kami untuk menyatakannya sebagai kondisi koma total dan bukan kematian.

Jika dipahami dan diterapkan secara benar, kata ‘kebangkitan Yesus' tidak dapat berarti kembalinya ruh beliau ke dalam tubuh manusia yang sama yang telah ditinggalkannya pada saat mati. Istilah ‘kebangkitan' (resurrection) hanya berarti kelahiran/penciptaan sebuah tubuh ruhani baru. Tubuh semacam itu bersifat ruhaniah, dan berfungsi sebagai semacam wadah bagi ruh yang telah disucikan dalamnya. Ia telah diciptakan untuk kelangsungan abadi bagi kehidupan sesudah mati. Sebagian orang menyebutnya tubuh sidereal body (tubuh nyata sampingan) atau astral body (tubuh ruhani), dan sebagian menyebutnya athma. Apa pun nama yang anda berikan untuknya, makna intinya tetap sama; ‘kebangkitan' digunakan bagi kelahiran tubuh baru bagi ruh yang bersifat sangat halus, dan bukan, kami ulangi, bukan kembalinya ruh ke dalam tubuh manusia yang sama yang telah rusak dan yang telah ditinggalkan sebelumnya.

Paulus telah memberikan ulasan/komentar panjang lebar dengan menggunakan istilah ini mengenai kebangkitan Yesus Kristus. Dia percaya tidak hanya pada kebangkitan Yesus, tetapi kebangkitan secara umum semua orang yang mati dan dianggap pantas oleh Tuhan untuk diberi sebuah eksistensi baru dan sebuah bentuk kehidupan baru. Kepribadian sang ruh tetap sama, tetapi tubuh/cangkangnya berubah: Menurut Paulus, ini adalah fenomena umum yang harus diterima, jika tidak, tidak ada makna yang tersisa bagi kekristenan atau agama.

Surat-surat Paulus kepada orang-orang Korintius harus dipelajari secara mendalam, sebab merupakan titik pusat permasalahan. Surat-surat itu tidak menyisakan tempat bagi keraguan, dalam pikiran saya paling tidak, yakni bila saja dia berbicara tentang telah terlihatnya Yesus hidup-hidup setelah Penyaliban, dia berbicara secara jelas dan tanpa kerancuan mengenai kebangkitan dan kebangkitan beliau semata, serta tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ruh Yesus telah kembali masuk ke dalam tubuh beliau yang tidak abadi itu, dan bahwa beliau telah dibangkitan kembali dari kematian dalam istilah fisik. Jika pemahaman saya tentang Paulus tidak dapat diterima oleh beberapa theolog Kristen, mereka akan terpaksa mengakui bahwa Paulus secara nyata menempatkan dirinya pada pertentangan. Sebab, paling tidak dalam beberapa penjelasannya mengenai kehidupan baru Yesus, dia tidak meninggalkan unsur keraguan sedikit pun bahwa dia memahami kehidupan baru Yesus itu sebagai kebangkitan (resurrection) dan bukan sebagai hidupnya kembali (revival) tubuh manusia, di mana dikatakan tempat ruhnya pernah terkurung.

Berikut ini beberapa kutipan terkait yang berbicara dengan sendirinya: Allah, yang membangkitkan Tuhan (Yesus), akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya. (Korintius I, 6:14).

Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh ruhaniah. (Korintius I, 15:42-44). Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka genaplah firman Tuhan yang tertulis: ‘Maut telah ditelan dalam kemenangan.' (Korintius I, 15:52-54). Tetapi hati kami tabah, dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan. (Korintius II, 5:8).

Permasalahan yang masih harus dipecahkan timbul dari referensi Paulus kepada warga Kristen masa awal mengenai bagaimana Yesus telah kelihatan hidup dalam tubuh beliau segera sesudah Penyaliban. Jika Paulus memahami bahwa Yesus telah mengalami kebangkitan, dia dapat saja benar tentunya, dan mimpi/rukya pribadinya tentang Yesus atau bersama beliau dapat dijelaskan dalam makna kebangkitan seperti berkunjungnya ruh seorang yang telah mati dari dunia lain, yang menuntut sang hantu untuk tampil persis seperti bentuk dan rupa sebelum kematian. Namun, tampaknya terjadi kerancuan atas tercampurnya dua jenis bukti. Pertama-tama kita harus mempertimbangkan bukti terdahulu dari para murid Yesus dan mereka yang mencintai dan memuja beliau, walaupun mereka mungkin secara formal belum masuk Kristen saat itu. Bukti tersebut tampaknya telah salah dipahami oleh Paulus, sebab bukti itu secara jelas menyatakan Yesus dalam bentuk manusianya dengan sebuah tubuh lahiriah yang tidak dapat ditafsirkan sebagai kebangkitan.

Untuk membuktikan hal itu, orang dapat merujuk pada episode ketika Yesus mengejutkan beberapa murid beliau: Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu. Akan tetapi ia (Yesus) berkata kepada mereka: "Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan dalam hati kamu? Lihatlah tanganku dan kakiku. Aku sendirilah ini; rabalah aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat padaku." Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan tangan dan kakinya kepada mereka. Dan, ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah ia kepada mereka: "Adakah padamu makanan di sini?" Lalu mereka memberikan kepadanya sepotong ikan goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka. (Lukas 24:37-34).

Episode ini secara jelas menyingkirkan pemikiran tentang kebangkitan, dan menyatakan bahwa Yesus ingin memperlihatkan secara jelas bahwa beliau masih merupakan orang sama dalam tubuh manusia yang sama dan bukan hantu; dan tidak pula beliau merupakan seseorang yang tidak lagi membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa warga Kristen masa awal menyatakan dua hal yang berbeda. Bila saja mereka berbicara tentang hidupnya kembali Yesus dari kematian dan telah dihadang oleh keraguan tentang betapa tidak masuk akalnya pemikiran seperti itu, mereka berlindung pada gagasan kebangkitan, yang secara falsafah dan logika dapat dijelaskan. Korintius I, khususnya, menampilkan peluang yang bagus untuk mempelajari dilema bagaimana menempatkan kaki seseorang pada dua buah perahu yang berbeda.

Akhimya, kembali pada bukti perjumpaan warga Kritsten masa awal dengan Yesus Kristus, kita tidak diberi pilihan kecuali mempercayai bahwa Yesus yang telah tampil di hadapan banyak murid dan sahabat beliau segera setelah Penyaliban, yang telah bercakap-cakap dengan mereka, yang telah [duduk] bersama-sama mereka, dan secara bertahap berpindah menjauhi tempat Penyaliban, kebanyakan dalam kegelapan malam, sudah pasti bukanlah orang yang telah dibangkitkan, tetapi orang yang secara fisik telah dihidupkan kembali dari kematian, atau orang yang tidak pernah mati tetapi secara mukjizat telah pulih dari kondisi yang mendekati mati. Beliau memang sudah sangat dekat dengan kematian, sehingga kondisi beliau dapat disebandingkan dengan kondisi Nabi Yunus dalam perut ikan. Kami tidak ragu dalam pemikiran kami, bahwa pilihan terakhir ini satusatunya yang dapat diakui.

Guna memudahkan kaum Kristen untuk memahami sudut pandang kami, saya akan memaparkan kasus hipotetis yang sama. Cerita yang sama diulangi kembali dalam kehidupan nyata zaman sekarang. Rencana untuk membunuh seseorang dilakukan dengan cara menyalibkannya, dan dia diperkirakan akan mati sebagai akibatnya. Setelah itu, orang yang sama tampak berkeliaran oleh beberapa rekan dekatnya. Mereka juga menyaksikan tubuh lahiriahnya yang tampak jelas mengandung bekasbekas penyaliban. Kemudian orang itu ditangkap kembali oleh petugas hukum dan diseret ke pengadilan dengan tuntutan dari pihak kejaksaan, yakni dikarenakan dia telah terhindar dari maut dalam rencana pertama maka untuk menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya, dia harus disalib kembali. Orang itu kemudian membela diri dengan memaparkan argumentasi bahwa dia satu kali sudah pasti dapat mati, sehingga tujuan hukuman telah terpenuhi; dan sekarang dia telah dibangkitkan dari kematian oleh suatu keputusan khusus dari Tuhan, maka hukuman yang terdahulu itu tidak dapat dilaksanakan kembali, sebab dia memperoleh suatu kehidupan yang benar-benar baru, yang di dalamnya dia tidak melakukan pelanggaran hukum apa pun. Jika pengadilan menerima pembelaan ini, sudah jelas dia tidak akan dihukum lagi untuk suatu kesalahan yang telah dia tebus.

Yesus, telah tumbuh menjadi salah satu dan pilar-pilar keimanar Kristen, yang tanpanya maka seluruh bangunan theologi Kristen akan rubuh? Kami akan berusaha memproyeksikan diri kami ke dalam pemikiran-pemikiran warga Kristen awal yang menghadapi suatu dilema yang sulit sekali dipecahkan, dan mulai merekonstruksi kondisikondisi yang dalamnya kekristenan telah diberikan sebuah bentuk yang berbeda dari kenyataannya. Dengan cara ini mungkin akan lebih mudah bagi kami untuk memahami secara mendalam proses pembentukan dan perombakan Kristen. Fakta nyata yang harus menjadi pusat pemikiran adalah: jika Yesus alaihissalam benar-benar telah mati di tiang salib, maka pada pandangan orang-orang Yahudi beliau itu jelas-jelas tampil sebagai seorang pendusta.