Bahasa Keji Terhadap Orang Suci
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Bibel telah memperkirakan bahwa penda'wa palsu, yang menyebutkan sesuatu berasal dari Tuhan padahal Dia tidak mengatakannya, akan digantung di pohon kayu. Oleh karena itu, kematian Yesus di tiang salib akan berarti kematian bagi Kristen. Itulah sebabnya literatur agama Yahudi yang, autentik dipenuhi oleh kesenangan terhadap kematian Yesus di tiang salib. Beliau dianggap telah terbukti palsu/dusta, tanpa ragu sedikit pun, oleh Yahudi musuh beliau saat ini, berdasarkan ayat Bibel tersebut.
Mereka bahkan kehilangan rasa hormat terhadap beliau dan telah menggunakan kata-kata kotor serta caci-maki terhadap beliau, yang tidak sanggup dibaca oleh siapa pun yang mencintai Yesus, seperti kami, sebagai seorang utusan Allah yang benar, tercinta, dan suci. Orang dapat membayangkan keperihan mendalam serta penderitaan hebat para warga Kristen awal yang telah mengenal Yesus sebagai seorang suci dan rasul sejati dari Tuhan, yang ditunjuk secara khusus sebagai Almasih. Bagaimana mereka akan membela diri mereka terhadap serangan gencar kata-kata kotor tersebut, tatkala membaca saat ini dalam konteks masa sekarang, membayangkan buku bejad Salman Rushdie, The Satanic Verses?
Tidak adanya sama sekali rasa hormat sedemikian rupa terhadap sopan-santun yang dilakukan oleh keduanya tampak muncul dari kedalaman degradasi (kemunduran akhlak) manusia. Kutipan berikut ini akan memberikan beberapa gambaran bagi para pembaca, yakni apa yang terjadi pada segenap nilai kesopanan manusia apabila para penentang fanatik orang-orang suci memilih untuk menjadikan orang-orang itu sebagai sasaran kekurangajaran mereka, cercaan-cercaan mereka yang jahat serta menyimpang.
Talmud, kitab doktrin yang merinci segenap ilmu dan keimanan orang-orang Yahudi, telah mengajarkan bahwa Yesus tidak hanya dilahirkan secara tidak sah, tetapi lebih kurang ajar lagi dengan menganggap beliau dilahirkan dari perkawinan Maryam dengan setan ketika mengalami menstruasi. Lebih lanjut kitab itu menjelaskan bahwa beliau memiliki ruh Esau; yakni beliau itu seorang tolol, tukang sihir, penggoda; dan bahwa beliau telah disalibkan, dikubur di neraka dan telah dijadikan sebagai berhala oleh para pengikutnya. Kutipan berikut diambil dari buku The Talmud Unmasked, oleh Pendeta I.B. Pranaitis.
Berikut ini diceritakan dalam Risalah Kallah, lb (18b): "Suatu kali, ketika para Tetua duduk di Gerbang, dua anak muda lewat, seorang di antaranya mengenakan tutup kepala. Yang satu lagi kepalanya tidak tertutup. Rabbi Eliezer menyatakan bahwa yang tidak bertutup kepala adalah tidak sah (anak haram), seorang mamzer. Rabbi Jehoschua mengatakan bahwa dia dikandung pada masa menstruasi, ben niddah. Akan tetapi Rabbi Akibah mengatakan, dia kedua-duanya. Atas hal itu, yang lain bertanya pada Rabbi Akibah, mengapa dia berani bertentangan dengan rekan-rekannya? Dia menjawab, dia dapat membuktikan apa yang telah dia ucapkan.
Dia pergi kepada ibu anak itu yang dia lihat duduk di pasar menjual sayuran, dan mengatakan kepadanya: ‘Putriku, jika engkau akan menjawab sejujurnya apa yang akan saya tanyakan ini kepadamu, saya berjanji bahwa engkau akan selamat di akhirat.' Perempuan itu memohon agar dia (Rabbi) bersumpah untuk memegang janjinya, dan Rabbi Akibah melakukan hal itu — tetapi hanya dengan bibirnya, sebab dalam hatinya dia tidak memberlakukan sumpahnya itu. Kemudian dia berkata: ‘Katakan, anakmu ini anak yang bagaimana?' Perempuan itu menjawab: ‘Hari ketika saya kawin saya mengalami menstruasi, dan karena itu suami saya meninggalkan saya. Namun ruh setan datang dan tidur bersama saya dan dari persetubuhan itu putraku ini lahir.’ Dengan itu telah terbukti bahwa anak muda ini tidak saja tidak sah (anak haram), tetapi juga dikandung dalam masa menstruasi oleh ibunya. Dan ketika para penanyanya itu mendengar hal ini, mereka menyatakan: ‘Hebat Rabbi Akibah, sebab dia meralat para Tetuanya!' Dan mereka menyatakan, ‘Beberkatlah Tuhan Israel, yang telah membukakan rahasia-Nya kepada Rabbi Akibah, putra Yusuf!" Orang-orang Yahudi memahami cerita ini ditujukan kepada Yesus dan ibunya, Maryam, secara jelas dipaparkan dalam buku mereka Toldath Jeschu - Generasi Yesus — di mana kelahiran Juru Selamat kita diceritakan dalam kata-kata yang hampir sama.1
Seluruh rasa sopan-santun yang ada dalam diri manusia bergejolak menentang kotoran berbau busuk menyengat ini, yang telah ditumpukkan di atas nama dan gambaran/sosok suci Yesus pada literatur para penentangnya yang sangat memusuhi. Jelas, Yesus dikandung oleh seorang wanita perawan suci yang bemama Maryam, dan tidak ada pihak lain yang memainkan peranan dalam pembuahan [si anak] kecuali kudrat penciptaan tak terbatas dari Tuhan kita. Pemikiran tentang terjadinya pembuahan melalui persetubuhan dengan setan sewaktu menjalani masa haid, jauh lebih tepat ditujukan pada pikiran yang mengandung kebejadan tersebut. Tidak ada istri orang-orang suci dan tidak pula ibu-ibu mereka yang terhindar dari lidah-lidah dan pena-pena orang bejad yang meludahkan bisa racun serta kekurangajaran. Tidak ada bedanya, apakah orang gila seperti itu hidup 2000 tahun lalu atau dilahirkan pada zaman sekarang. Sungguh mengherankan, bahkan masyarakat yang paling beradab sekali pun pada zaman sekarang ini dapat menutup mata mereka terhadap kebiadaban tersebut dan agak mengizinkan serangan-serangan menyolok itu atas nama kebebasan menggunakan lidah dan pena.
Bahasa yang digunakan Salman Rushdie, umpamanya, terhadap istri-istri suci Rasul Suci Islam, bukannya tidak persis dengan bahasa yang telah digunakan terhadap bunda suci Kristus:
Juga diriwayatkan dalam Sanhedrin, 67a:
‘Inilah yang telah mereka lakukan pada putra Stada di
Lud, dan mereka menggantungnya pada perayaan
Paskah. Sebab putra Stada merupakan putra Pandira.
Sebab Rabbi Chasda mengatakan kepada kami bahwa
Pandira adalah suami Stada, ibunya, dan dia hidup pada
masa Paphus putra Jehuda.
Penulis buku The Talmud Unmasked, Pendeta I.B.Pranaitis memberikan ulasan berikut ini terhadap ayat-ayat yang dikutip di atas:
‘Artinya adalah, Maryam ini disebut Stada, yakni
seorang pelacur, sebab, berdasarkan apa yang telah
diajarkan di Pumbadita dia meninggalkan suaminya dan
melakukan perzinahan. Hal ini juga tertera pada Talmud
Jerusalem dan Maimon.’
‘Apakah mereka yang mempercayai kedustaan
kedustaan setaniah seperti itu pantas memperoleh
kebencian yang lebih besar atau kasih-sayang yang lebih
besar, saya tidak dapat mengatakannya.'
Ini jelas merupakan jeritan penderitaan dari hati seorang korban tak berdaya yang merasa perih atas penghinaan fanatik terhadap junjungannya yang tercinta. Para warga Kristen masa awal tentu telah mengalami penderitaan yang lebih besar dan menjalani masa perih atas penghinaan orang-orang Yahudi zaman itu. Mereka mengalami cercaan, yang ditujukan bukan kepada seseorang yang kenangan tentangnya telah terkubur di masa lalu, tetapi kepada seseorang yang kenangan penuh cinta tentangnya masih segar dan hidup, dan yang sangat dicintai oleh mereka yang telah melihatnya dan telah mengalami saat-saat yang indah dalam hidup mereka bersamanya. Mereka tersiksa dua kali lipat, sebab tidak hanya penghinaan keji yang melukai mereka, tetapi penghinaan lebih lanjut ditambahkan pada luka tersebut melalui penderitaan Yesus Kristus selama penangkapan dan upaya penyaliban beliau.
Saya hanya menghendaki agar hati nurani orang-orang Kristen dari Barat yang bebas, setidaknya melakukan sesuatu untuk memahami penderitaan dan kesedihan mendalam yang dialami oleh milyaran umat Islam yang sudah pasti tersiksa tidak kurang dari itu ketika bahasa tidak manusiawi telah digunakan terhadap Junjungan Mulia mereka dan para sahabat beliau.
Orang-orang Kristen masa awal mengalami semua itu sedangkan mereka secara pribadi mengetahui dan memiliki bukti tak terbantahkan bahwa Yesus masih hidup [saat itu] dan tidak mati di tiang salib seperti yang digembargemborkan oleh orang-orang Yahudi. Mereka sendiri yang telah merawat luka-luka beliau. Mereka menyaksikan beliau pulih secara mukjizat dari kondisi koma ketika tubuh beliau diserahkan kepada mereka, dan telah melihat beliau dengan mata mereka sendiri, bukan dalam bentuk bayangan atau hantu, tetapi dalam tubuh lemah manusia sama yang telah mengalami penderitaan begitu besar demi kebenaran dan yang telah selamat dari kematian secara mukjizat. Mereka berbicara dengan beliau, makan bersama beliau dan menyaksikan beliau bergerak selangkah demi selangkah, malam demi malam, dengan penuh rahasia, menjauhi kawasan Penyaliban.
1. The Talmud Unmasked, oleh Pendeta I.B. Pranairis, bab I, p.30 103